Theme Preview Rss

Tebing Cakrawala. Oleh : Denny Prabowo

Catcher:Ya. Mereka benar-benar berdansa di sana. Mereka bergerak mengikuti alunan senja yang perlahan memudar, mengantarkan matahari pulang ke peraduan.

Rayya berlari meninggalkan Donald yang berteriak-teriak memanggil namanya sambil meringis memegangi rusuknya yang kesakitan. Dia ingin mengejar Rayya. Tapi Marsha, gadis yang bersamanya, mencegahnya. Donald mengurungkan niatnya. Semua mata yang ada di tempat itu mengarah kepadanya.Rayya berlari. Dan terus berlari. Hatinya terbakar amarah. Sudah lama dia curiga kekasihnya itu punya affair dengan Marsha, kakak kelasnya yang doyan menggoda kekasih orang. Tapi Rayya tidak menangis. Dia benci menangis. Apalagi menangis untuk seorang cowok. Gadis tomboy yang rambutnya tergerai hingga sebatas punggungnya itu paling pantang menangisi cowok. Malah, hampir saja bogem mentahnya melayang ke wajah sinis Marsha. Kalau saja Donald tidak mencegahnya, sudah bisa dipastikan, cewek genit itu sudah terkapar di lantai plaza. Tapi, penyandang ban hitam kyokusinkai itu sempat mendaratkan mawasi-nya ke arah rusuk Donald, kekasihnya. Sampai membuat pemuda itu termehek-mehek kesakitan. Rayya paling benci dikhianati.Bruk! Si tomboy menabrak seseorang di beranda depan plaza.“Sori!” Hanya kata itu yang keluar dari mulutnya, tanpa melihat ke arah pemuda yang ditabraknya. Tapi waktu dia sudah berada di atas angkot, dara hitam manis itu sempat melihat pemuda yang ditabraknya mengejar seraya melambai-lambaikan tangan ke arahnya. Entah apa maksud pemuda itu. Rayya tak sempat menerka-nerka. Dadanya bergetar karena lahar yang bergolak di dalamnya.

Angkot melesat cepat, membawa sepotong tubuh yang sedang menyemburkan lahar. Rayya. Gadis itu masih menyesali mengapa dia tidak sekalian saja melayangkan mawasi-nya ke pinggang Marsha.Siang itu di kamarnya, si tomboy masih saja mendongkol. Bukan saja karena Donald, kekasihnya yang akhirnya kepergok jalan bareng dengan Marsha. Tapi juga karena saat kernet angkot menyodorkan telapak tangan kapadanya, meminta ongkos angkot darinya, dia baru dapat menerka kemungkinan yang paling mungkin, mengapa pemuda yang tadi ditabraknya di muka plaza, mengejar seraya melambaikan tangan ke arahnya. Pasti itu! Dia bermaksud mengembalikan dompet milik Rayya yang mungkin terjatuh waktu mereka bertabrakan. Untung saja dara semampai itu selalu menyimpan recehan di saku celana panjangnya. Ah, mudah-mudahan saja pemuda itu mau berbaik hati mengembalikan dompet milikku, begitu harap si tomboy dalam hati.Keesokan harinya, sepulang dari sekolah, Rayya mondar-mandir di beranda depan rumahnya yang asri. Persis setrikaan. Matanya berkali-kali melirik ke arah undangan berwarna merah muda yang terkapar di atas meja. Hari ulang tahun Mitha. Dia masih ingat percakapannya dengan Mitha, teman sekelasnya, waktu menyerahkan undangan itu kepadanya.“Datang ya! Jangan sampai gak datang! Gak seru kalo nggak ada kamu. Ingat lho, datangnya sama pasangan.”“Harus sama pasangan?”“Harus!” kata Mitha. “Eh iya, undangannya sekalian buat Donald aja ya. Biar ngirit, gitu loh.”Rayya tertunduk. Dia memang belum menceritakan kepada teman-temannya peristiwa kemarin di plaza.“Apa sebaiknya aku nggak usah datang aja ya? Tapi… nanti teman-temanku kecewa. Apalagi Mitha. Ini kan hari spesialnya.


Ah, kenapa juga harus sama pasangan? Aduh… kenapa sih si Donald pake acara selingkuh segala? Sama Marsha, lagi… Uh, cewek itu… seharusnya kemarin dia kuhajar sekalian!” Tanya dan sesal bergumpal-gumpal di dalam hatinya.Acaranya sendiri akan diadakan malam nanti di halaman belakang rumah Mitha. Selain band-band sekolah, ada juga artis ternama yang turut meramaikan acara. Memang sayang banget untuk dilewatkan. Tapi keharusan membawa pasangan itu… Ah, kalau saja Donald tidak tergoda bujuk rayu Marsha yang memang sangat piawai menjadi iblis penggoda dengan wajah cantik dan keseksian tubuh yang selalu dia pamerkan ke setiap mata pemuda… Sudah setahun lebih ia membina hubungan dengan Donald. Tapi akhirnya?Rayya masih saja mondar-mandir persis setrikaan. Dan kepalanya sudah mulai kepanasan karenanya. Dia lagi bingung karena tak menemukan satu nama pun yang paling mungkin diajaknya ke acara nanti malam, menggantikan Donald yang sudah bisa dipastikan akan datang bersama Marsha. Otak Rayya mulai mengeluarkan uap panas. Mirip lokomotif kereta api. Buntu.“Pussssiiiiiinnnngggg!!!!!” dara manis itu berlari ke dalam kamarnya. Terjun bebas ke atas ranjang busa. Membenamkan wajahnya di balik bantal tebal. Lalu memejamkan matanya perlahan. Perlahan. Sebelum akhirnya terlelap dalam tidur.Sesaat setelah dia benar-benar terlelap.... Gadis tomboy itu menemukan dirinya berebah di atas pasir putih yang sangat lembut, di sebuah pantai sepi, entah di mana. Itu merupakan pantai terpanjang yang pernah Rayya lihat. Tapi anehnya, tak satu pun bangunan yang tampak berdiri di sana. Pantai itu benar-benar kosong. Tak berpenghuni. “Ah, di manakah aku ini?” Rayya bertanya pada dirinya sendiri.

Matahari telah meninggalkan singgasananya. Turun perlahan-lehan menuju garis cakrawala. Langit menjadi keemasan. Senja merupakan saat terindah dari episode kembara hari sang mentari. Lempengan bola api raksasa itu tampak telah tenggelam sebagian ke balik tebing cakrawala. Membias cahaya di atas air laut yang beriak syahdu. Membentuk garis lurus yang membentang dari cakrawala hingga ke pantai, tempat di mana Rayya sedang duduk kebingungan. “Sungguhkah tempat ini benar-benar nyata adanya?” bisik hatinya bertanya. Si tomboy memandang tak percaya pada keindahan senja yang membentang di depannya. Seolah terhadirkan hanya untuk dinikmati olehnya seorang, karena memang dia tak menemukan siapa pun di tempat itu.“Hei, apa itu?!” Rayya beranjak dari duduknya. Matanya menangkap siluet yang muncul tiba-tiba dari balik tebing cakrawala. Dara manis semampai itu mengerjap-ngerjapkan matanya. Berusaha meyakinkan dirinya bahwa yang dilihatnya bukanlah sebuah halusinasi semata. Siluet itu berbentuk sesosok tubuh. Dan.... Hei, sesosok tubuh itu berjalan ke arahnya! Dia benar-benar berjalan. Seperti kita berjalan di daratan. Tapi dia berjalan di atas lautan! Ya. Dia berjalan perlahan di atas garis cahaya berwarna jingga yang membentang lurus dari cakrawala hingga ke pantai tempat Rayya berdiri. Dia berjalan laiknya seorang peragawan berjalan di atas catwalk. Betapa anggun dan menakjubkan! Membuat si tomboy ternganga tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ketika sesosok bayangan itu semakin mendekat, dan akhirnya berdiri di hadapannya, Rayya masih saja tak percaya dengan pandangan matanya. Seorang pemuda!Pangerankah dia? Atau… malaikat? Tapi tak sepasang sayap pun di balik punggung pemuda itu.

Lalu, siapakah dia yang memiliki wajah serupa pangeran-pangeran dari negeri dongeng? Dan, bagaimana mungkin pemuda itu berjalan di atas lautan? Benar-benar berjalan. Seolah berjalan di atas daratan.Pemuda yang memiliki rambut ikal sebahu itu tersenyum. Lalu membungkuk meraih jemari Rayya, dan mencium pungung telapak tangannya.“S... siapa kamu?” Rayya tergagap. Pemuda itu mendongak menatap wajah si tomboy yang memerah dadu. Lalu pemuda itu berdiri tegak. Tangannya masih menggenggam jemari si tomboy.“Namaku… Tebing Cakrawala!” “Tebing Cakrawala?”“Ya. Karena aku berasal dari sana,” katanya menunjuk ke arah cakrawala, tempat dari mana pemuda itu terlihat pertama kali oleh Rayya.“Ah, i... ini hanya gurauan, kan?”Pemuda yang mengaku bernama Tebing Cakrawala itu tersenyum. Lalu berjalan menuntun Rayya. Rayya tidak berusaha menolak. Atau sekadar bertanya ke mana pemuda itu akan membawanya. Si tomboy diam saja. Dia bahkan tidak sadar bahwa dirinya sedang berjalan di atas lautan. Benar-benar berjalan. Dan cahaya matahari yang membias membentuk garis lurus hingga ke cakrawala itu, serupa permadani yang mengalasi langkah-langkah kaki mereka.Ah, apa yang tak mungkin terjadi di dalam ruang mimpi? Namun tentunya seorang yang sedang bermimpi tak menyadari dirinya sedang bermimpi. Seperti Rayya. Dia pasti akan kecewa kalau tahu yang sedang dialaminya hanya berlangsung di ruang mimpinya. Dia begitu bahagia. Apalagi ketika pemuda bernama Tebing Cakrawala itu mengajaknya berdansa di hadapan matahari yang tinggal sebentuk setengah lingkaran. Ya. Mereka bernar-benar berdansa di sana. Bukan terlihat seperti berdansa.Mereka bergerak mengikuti alunan senja yang perlahan memudar, mengantarkan matahari pulang ke peraduan.

Mereka berdansa di sana. Di hamparan layar jingga cakrawala. Seolah mereka bagian yang memang harus ada ketika senja menjadi akhir dari kembara hari sang mentari. Mereka berdansa di sana bagai lukisan siluet. Hanya saja mereka bergerak. Kadang memutar. Kadang terbang membubung ke angkasa. Melayang-layang. Lalu menukik kembali ke garis cakrawala.Begitulah yang Rayya alami di ruang mimpinya. Sampai tiba-tiba, dia merasakan tubuhnya berguncang-guncang. Seperti sedang terjadi gempa. Ruang mimpinya bergetar, sebelum melenyap. Rayya perlahan-lahan membuka kelopak matanya. Dia menemukan wajah Depo, kakaknya, sedang meringis-ringis di depannya.“Ah, ngapain sih mengganggu-ganggu kenikmatan tidur orang?!” bentak Rayya, keki.“Yeee… bukannya makasih udah dibangunin,” Depo tak kalah keki. “Ada yang nyariin kamu tuh, di depan! Katanya sih mau ngembaliin dompet kamu yang terjatuh. Eh, emangnya dompet kamu hilang ya?”Rayya mengangguk. Tegas. Dia langsung bangkit dari tidurnya.“Orangnya cowok ya, Mas?”“Huu… kalo cowok aja bersemangat banget.”“Cowok apa cewek?”“Cowok! Namanya Tebing Cakrawala!”“Hah…?!?” Rayya melongo.Depo memijit hidung bangir si tomboy.“Aduh! Sakit tau!”“Abis… bukannya buru-buru nemuin, eh… malah bengong kayak ayam sakit. Tamunya udah nungguin sejak tiga jam yang lalu tuh. Kamu sih, susah banget dibanguninnya.”Rayya tersenyum sebelum bergegas meninggalkan kamarnya, menemui pemuda bernama Tebing Cakrawala.Well, well, well… kayaknya si tomboy udah nemuin orang yang bakalan dia ajak ke acara ultah si Mitha nanti malam nih.“Oh, Tebing Cakrawala….” Gadis itu bergumam sebelum beranjak menemui pemuda bernama Tebing Ckrawala. (Dedicated to Rayya: Elu bener-bener mirip tokoh Edelweiss di buku gue!)

Rahasia Rani. Oleh : Melani

Catcher:Roni melepas kacamatanya dan mengubah potongan rambutnya, memberikan sedikit poni yang menutupi keningnya. Tiba-tiba ia berbicara dengan suara perempuan, “Aku Rani.”

"Selamat pagi semuanya!” Aku melangkah ringan memasuki ruang kelasku pada suatu pagi yang cerah di pertengahan bulan Agustus.“Ceria banget, Sya?” sapa teman akrabku, Aldo.Aku tersenyum lebar, ”Iya donk.... Pagi-pagi harus bersemangat! Jangan loyo kayak kamu.”Aldo mencibir.”Eh, Sya... udah tau hot news hari ini belum?” tanya Aldo tiba-tiba dengan mimik serius, membuatku jadi penasaran.”Hah? Hot news apaan, Do? Kamu jadian sama siapa? Atau, kamu baru dapat lotere, ya, Do? Wah... makan-makan, donk?”“Hush! Sembarangan aja!” sergah Aldo. “Tuh... lihat di sebelah sana! Ada anak baru,” katanya sambil menunjuk ke arah seorang perempuan berambut pendek dengan poni menutupi dahinya.“Ya udah, kenalan yuk!” kataku sambil menarik tangan Aldo dan melangkah mendekati anak baru tadi.“Halo... kamu anak baru, kan?” sapaku sambil menepuk pundak si anak baru.Anak baru itu menengok. Hmm... cantik juga. Pantas saja Aldo, yang biangnya cuek, langsung heboh.Anak baru itu terdiam. Mendadak mukanya bersemu kemerahan, membuatku geli. “Ha ha... kamu nggak usah takut sama aku. Aku nggak nggigit, kok!” selorohku. “Kamu nggak perlu malu, oke?”Gadis itu mengangguk pelan.“Oh iya, sampai lupa.... Namaku Tasya, tapi aku bukan anak gembala, lho! Ha ha...,” candaku lagi sambil mengulurkan tangan kananku, mengajaknya berkenalan.Ia meraih tanganku dan berbisik lirih, “Rani....”“Apa? Cantik-cantik begini namamu Roni?” candaku lagi.Tiba-tiba ia terlihat gugup. Duh! Pemalu sekali anak ini.

“Udah, Sya... anak barunya jangan digangguin melulu. Kasihan tuh!” kata Aldo sok simpati.“Eh, kenalin... aku Aldo.” Aldo mengulurkan tangannya ke arah Rani sambil tersenyum manis. Rani mengulurkan tangannya kepada Aldo.“Pindahan dari mana, Ran?” tanyaku berbasa-basi.“Semarang,” jawabnya singkat.“Sekarang tinggal di mana?” tanyaku lagi.“Pondok Indah.”“O ya? Nomor telepon kamu berapa?” tanya Aldo sambil dengan sigapnya mengeluarkan handphone dari dalam kantong celananya, bersiap-siap mencatat nomor telepon Rani.Aku menjitak kepala Aldo, “Huu... dasar ganjen!”“Adaaawww....” jerit Aldo.Aku dan Rani tertawa geli, sementara Aldo sibuk mengelus-elus benjol di kepalanya dengan mimik lucu.Rasanya mudah saja menjalin persahabatan dengan Rani. Selain cantik, ternyata ia anak yang baik hati. Sifatnya yang gampang tertawa pun membuatnya betah berada di dekat aku dan Aldo, dan begitu pula sebaliknya.Tapi, lama-lama, aku merasa ada yang aneh dengan diri Rani. Selama ini ia selalu siap membantu kami dan mendengarkan curhat-curhatku dan Aldo. Kadang-kadang kami bertiga juga suka nongkrong di rumah Aldo atau rumahku. Tapi, kenapa Rani nggak pernah bercerita tentang kehidupan pribadinya, ya? Jangankan untuk pergi mengunjungi rumahnya, dengan siapa dia tinggal saja aku dan Aldo tidak tahu-menahu.Apakah Rani masih punya ayah dan ibu? Apakah dia punya adik atau kakak? Siapa nama saudara-saudara Rani? Ataukah dia itu anak tunggal?Aku sendiri sudah sering memancing pembicaraan ke arah keluarga. Apalagi Aldo terang-terangan kelihatan suka kepada Rani dan sedang berusaha mengumpulkan informasi tentang dia, tapi Rani selalu mengalihkan pembicaraan.

Walaupun penasaran, Aldo selalu memperingatkanku untuk tidak terlalu ikut campur dengan urusan pribadi Rani. Tapi, apakah kami ini sahabat yang baik kalau kami bahkan tidak tahu apa pun mengenai diri Rani?Sebenarnya, rahasia apa yang Rani sembunyikan dari aku dan Aldo?“Tasya, kamu teman dekat Rani, kan?” tanya Bu Saski, guru Matematika sekaligus wali kelasku.Aku mengangguk pelan, “Iya. Memangnya ada apa, Bu?”“Katanya Rani sakit, ya? Sudah seminggu ini dia tidak masuk, apa kamu tidak menjenguk dia?”Aku terdiam. Sempat kulirik Aldo, yang hanya mengangkat bahunya.“Hmm... saya sih memang mau menjenguk dia, Bu, sama Aldo. Tapi, kami nggak tahu alamat rumah Rani. Yang saya tahu, dia tinggal di Pondok Indah. Tapi... saya belum pernah ke rumahnya, Bu.”Bu Saski mengerutkan kening, “Ya sudah, nanti kamu menghadap Ibu, ya, sepulang sekolah. Nanti Ibu berikan alamat rumah Rani agar kamu dan Aldo bisa menjenguk dia. Sekalian kirim salam untuk Rani dari Ibu dan anak-anak satu kelas.”“I... iya, Bu.”“Busyet! Kamu nggak salah alamat, kan, Sya? Betul kan ini nomor 58? Gilee.... Ini sih bukan rumah, tapi istana,” komentar Aldo sambil membuka helmnya.Aku turun dari boncengan Aldo. “Iya, ini nomor 58.... Tapi, apa bener ini rumah Rani?”Aldo mengangkat bahu. “Coba ketok aja dulu, Sya....”Aku mendatangi gerbang depan rumah bergaya Victorian itu. Memang benar kata Aldo, rumah ini besar sekali!Aku mencoba mengetok-ngetok gembok besar di gerbang ketika tiba-tiba seorang satpam datang tergesa-gesa sambil memarahi aku.“Wooi! Jangan diketok-ketok! Itu kan ada bel!” katanya terengah-engah.Aku melihat ke arah yang ditunjuknya. Bodoh! Masa, nggak kepikiran bahwa rumah sebesar ini tak mungkin tidak punya bel, sih?


“He he... maafin, deh, Pak. Kan saya nggak tau belnya ada di situ.”“Memangnya Anda ini mau cari siapa?” tanya satpam tadi sambil melihat ke arahku dan Aldo dengan pandangan curiga.“Rani.”“Hah? Siapa? Den Roni? Oh, saya tahu... kalian ini teman sekolahnya, kan? Ya sudah, sebentar saya panggilkan dulu. Kalian masuk saja,” kata satpam tadi sambil membukakan pintu gerbang untuk kami.Ternyata, bagian dalam rumah Rani lebih mewah daripada yang tampak luarnya. Seorang pelayan dangan pakaian seragam khusus berwarna biru muda mengantarkan kami masuk dan mempersilakan duduk di sebuah ruang tamu dengan kursi-kursi besar yang dikelilingi hiasan-hiasan kristal di atas meja-meja marmer.“Mau minum apa?” tanya pelayan itu. “Jus buah, cappuccino, atau soft drink?”“Busyet! Harganya berapa tuh, Mbak? Kayak di restoran aja,” kata Aldo panik, takut disuruh membayar.Aku menepuk tangan Aldo.“Air putih saja. Makasih, Mbak....” kataku pada si pelayan yang mengangguk dan langsung pergi menuju dapur.“Do.... Gila juga ya si Rani, rumahnya besar banget!” bisikku pada Aldo, takut ada yang mendengar pembicaraan kami.“He-eh,” jawab Aldo singkat sambil sibuk memperhatikan sebuah gambar besar yang dipajang di dinding seberang kami. Sebuah foto keluarga. Ada seorang ayah, ibu, dan seorang anak laki-laki, juga seorang anak perempuan.“Itu Rani, bukan?” tanya Aldo sambil menunjuk ke arah foto anak perempuan tadi.Aku memicingkan mataku, mencoba untuk melihat lebih jelas. “Nggak tau, deh... Abis di situ rambutnya panjang... Tapi kayaknya sih iya.”“Hei, kalian udah lama nunggu ya?” sebuah suara dari belakang kami membuat kami menengok.“Lho? Kalian ini...”

Di hadapan kami berdiri seorang anak laki-laki yang tadi menyapa kami. Wajahnya sangat mirip dengan wajah Rani, tetapi ia memakai kacamata. Kini ia berdiri mematung melihat kami, kebingungan.“Kalian?”“Kami teman Rani,” kataku.“Kamu kakak Rani yang ada di gambar itu kan? Saya Aldo dan ini Tasya. Kami teman-teman sekelas Rani,” kata Aldo sambil memperkenalkan diri. “Kami mendapat kabar Rani sedang sakit, makanya kami mau menjenguk dia.”“Oh, iya, iya... Rani, hmm, ada di atas. Nanti saya suruh dia turun,” jawab anak laki-laki tadi sambil cepat-cepat berlari ke lantai atas sebelum kami sempat mencegahnya.Lima menit kemudian, Rani mendatangi kami dengan tampang lesu.“Kalian tuh ya... Mau datang kok nggak bilang-bilang?” tanya Rani sambil duduk di sebelahku. “Kalian dapat alamat rumahku dari mana?”“Dari Bu Riska. Kami semua cemas karena kamu sudah seminggu sakit tapi nggak tau gimana kabarnya,” jawab Aldo.“Eh, Ran, ngomong-ngomong yang tadi itu kakakmu ya?” tanyaku penasaran.Rani mengangguk, “Iya... Namanya Roni.”“Sya... Kamu mau nggak jadi pacar aku?”Saat itu, kira-kira sebulan setelah kunjunganku ke rumah Rani bersama Aldo, aku sedang duduk berdua di sebuah cafe di Mal Pondok Indah, bersama Roni, kakak Rani.Aku mengangguk malu-malu. Aku dan Roni memang menjadi sangat dekat berkat hasil comblangan Rani, dan kini aku sudah resmi jadi pacar Roni.“Kalau begitu, aku mau mengakui sesuatu nih sama kamu,” kata Roni sok misterius.“Apa?” tanyaku penasaran.Roni melepas kacamatanya dan mengubah potongan rambutnya, memberikan sedikit poni yang menutupi keningnya. Tiba-tiba ia berbicara dengan suara perempuan, “Aku Rani.”

Aku masih bingung, shock. Kini yang duduk di hadapanku bukanlah Roni, melainkan Rani.“Maksud kamu... Apa?”Roni, atau mungkin Rani, mengenakan kacamatanya lagi dan merapikan rambutnya.“Aku Roni, bukan Rani. Tapi... sebenernya... Aduh, aku Roni tapi juga Rani.”Kepalaku mulai terasa pening. “Maksudnya... Kamu... perempuan jadi-jadian atau laki-laki jadi-jadian, begitu?”Roni, atau mungkin Rani, ya... Siapa pun yang sedang duduk di depanku itu tertawa, “Bukan. Aku Roni. Dan aku laki-laki tulen.”“Lalu?”Roni menghela napas sebelum meneruskan, “Adikku Rani sebenarnya sedang dalam ancaman penjahat yang ingin memeras keluarga kami. Untuk melindunginya, kami bertukar tempat. Kami ini kan kembar. Lagi pula, begini-begini aku jago karate, jadi bisa menjaga diriku sendiri di Jakarta sini.”“Maksudmu... Jadi, selama ini aku curhat, jalan-jalan, ke mana-mana itu sebenernya sama kamu? Bukan sama Rani?”Roni menggeleng, “Bahkan kamu nggak kenal sama Rani. Nantilah kamu aku kenalkan sama dia. Sekarang ini dia sedang sekolah di Australia.”“Ya ampun... Jadi, selama ini... kamu memang sengaja merahasiakan ini semua sama aku dan Aldo?” Roni mengangguk lagi.“Duh! Ya ampun! Kalau begitu Aldo bakal patah hati, donk? Dia kan naksir berat sama Rani buatanmu itu!”Roni tertawa geli, “Aldo udah tau kok duduk perkara yang sebenernya waktu dia nembak aku dua minggu yang lalu! Ha ha ha... Dan sekarang dia malah kirim-kiriman e-mail sama Rani yang beneran. Kata Aldo sih, cantikan Rani yang benerannya daripada Rani jadi-jadiannya! Ha ha ha...”Aku terduduk lemas. Lega, sekaligus geli.Rupanya itulah rahasia besar Rani yang membuatku penasaran selama ini.

Kucing Misterius. Oleh : Arumi Ekowati

Catcher:“Masa, iya sih hanya aku yang melihat dan mendengar si Koneng? Suaranya aja berisik begitu. Rumah ini tak terlalu besar. Suara si Koneng yang melengking itu seharusnya dapat didengar oleh orang yang berada di lantai bawah.”

“Miaaaw.…” Suara lembut itu mengejutkan Nida yang sedang asyik mengetik karya tulisnya di komputer. Nida menghentikan kesibukannya. Menoleh ke kiri dan ke kanan mencari asal suara itu. Tiba-tiba, kakinya yang terjulur di kolong meja komputer terasa geli tersentuh bulu-bulu lembut, lebat… seekor kucing!“Miaaaw!”Nida terpana menatap kucing itu. Makhluk itu cantik sekali. Mungkin ini yang disebut kucing anggora. Bulunya panjang-panjang dan lebat sekali. Bulu ekornya juga panjang-panjang dan lebat. Warna bulunya indah, kuning keemasan mulai dari kepala, tengkuk, punggung, hingga ujung ekornya. Begitu juga sisi luar keempat kakinya. Sementara, wajah, leher, dada, dan perut, serta sisi dalam kaki-kakinya ditumbuhi oleh bulu berwarna putih bersih. Cantik sekali! Begitu sempurna!Ragu Nida mengelus kepala kucing itu, takut kucing itu mengamuk. Tapi tidak, kucing itu malah tampaknya senang dielus-elus. Bahkan, ia mengusap-usap kepala dan tubuhnya ke kaki Nida. Nida terkikik kegelian.“Pus, kamu cakep banget. Pasti kamu ada yang punya, ya? Kucing liar mana mungkin cakep begini?” kata Nida. Diraihnya tubuh kucing itu. Didekap dan digendongnya.Nida memang tidak canggung menyentuh kucing, karena Nida memang penyuka kucing. Bahkan, binatang favoritnya memang spesies kucing. Entah mengapa tingkah manja kucing membuatnya senang dan terhibur. Dan suara kucing yang imut itu… miaaaw... ih, bikin Nida gemes!Semasa SMP dulu, Nida pernah memelihara kucing. Dinamai Pinky karena hidungnya berwarna merah muda. Selama satu setengah tahun, Pinky menjadi sahabat terbaik Nida, yang selalu melipur laranya di kala kesedihan melanda. Tingkah lucu Pinky selalu mampu membuat Nida tertawa. Namun, akibat keteledorannya, terlambat menyadari Pinky sakit, kucing kesayangannya itu pun sekarat selama tiga hari dan akhirnya mati. Lama Nida berduka dan merasa sangat bersalah. Dan Bunda tak pernah lagi mengijinkan Nida memelihara kucing karena Nida menunjukkan sikap tak bisa bertanggung jawab terhadap binatang peliharaannya. “Miaaaw….” Kucing itu mengeong lagi. Matanya terpejam menikmati gelitik jemari Nida di lehernya. Nida tersenyum.“Pus, Cakep. Kamu aku panggil si Koneng, deh. Karena warna bulumu yang kuning.”

Lantas, Nida menyibukkan dirinya mengajak si Koneng bermain-main. Karya tulisnya pun terlupakan!“Miaaaw!’’ Si Koneng datang lagi! Mata Nida berbinar-binar menyambut kedatangannya. Si Koneng terbiasa datang setiap jam dua siang. Dia muncul dari pintu ruang belajar di lantai atas rumah Nida yang selalu terbuka, apabila Nida sedang sibuk mengerjakan tugas-tugas sekolahnya.Rumah Nida memang berhimpitan dengan rumah tetangga kanan-kirinya. Memudahkan si Koneng melompat dari satu atap rumah ke atap rumah lainnya. Setelah tiga hari pertemuannya dengan si Koneng, Nida masih belum tahu siapa pemilik kucing itu. Dan Nida memang tak ingin tahu. Biar saja, pokoknya dia bisa memiliki si Koneng selama dua jam karena biasanya setiap jam empat sore, si Koneng akan berlari pulang. Selama ini pula, Koneng hanya diijinkan Nida bermain-main di ruang belajarnya. Oh, jangan sampai turun ke lantai bawah dan ditemukan Bunda! Karena pasti akan diusir Bunda!Si Koneng semakin akrab dengan Nida. Dia tak takut-takut lagi mengusap-usap tubuhnya ke kaki Nida. Bahkan, berani menghampiri jemari Nida yang menjentik memanggilnya. Kemudian, si Koneng akan menjilat-jilat jemari Nida itu. Si Koneng juga semakin sering mengeong. Kadang membuat Nida khawatir suaranya akan terdengar sampai lantai bawah.“Hush! Pus.... Koneng, jangan kenceng-kenceng, ya, ngeongnya, nanti kedengeran Bunda. Cup... cup… diem… diem…,” bujuk Nida. Tapi, si Koneng tak jua mengerti. Tetap saja mengeong semakin kencang dan semakin sering. Sambil matanya tak lepas memandang Nida, seperti ingin mengatakan sesuatu.“Aduh, pus... jangan berisik dong, Sayang,” seru Nida sambil mengelus-elus kepala si Koneng. Tapi, terlambat... terdengar suara Bunda.“Nidaaa!” Nida sedikit panik.“Tuh, kan? Pus, sih…,” ujarnya dengan nada sangat menyesal. Tapi, si Koneng seperti tak peduli. Ia tetap mengeong, semakin sering dan melengking. Nida terpaksa membopongnya dan membawanya keluar menuju balkon. Meletakkannya di lantai, tapi belum sempat Nida menutup pintu, si Koneng sudah melesat mendahuluinya masuk ke ruang belajar. Menatapnya dan mengeong keras!“Hhhh!” Nida menarik napas, tak menyangka si Koneng akan membuatnya kesal.“Nidaaa…!” Terdengar lagi panggilan bunda.Terpaksa Nida membuat trik untuk menipu si Koneng. Dilemparkannya ke lantai balkon bola ping-pong berwarna oranye yang biasa digunakannya untuk bermain dengan si Koneng. Benar saja! Si Koneng segera mengejar bola itu. Pada saat itulah, Nida lekas-lekas menutup pintu.

Terdengar suara Koneng yang mengeong-ngeong memilukan… sungguh tak tega Nida mendengarnya. Tapi, Nida harus segera turun menemui Bunda. Secepatnya Nida berlari turun.“Ya, Bundaaa…,” sahutnya.“Nida, dipanggil bunda kok lama banget nyahutnya,” kata Bunda setelah Nida berada di hadapannya.“Maaf deh Bunda. Nida tadi lagi tanggung….” Bunda menatap Nida penuh selidik.“Tanggung ngapain hayoo?” Nida terlihat agak gugup,“Eh, lagi ngetik tugas.…Tapi, gak ada apa-apa kok Bunda. Bener, deh. Bunda gak denger apa-apa, kan?” jawab Nida dengan pandangan khawatir. Bunda tersenyum, “Makanya Bunda khawatir. Bunda nggak denger apa-apa. Kirain kamu tidur atau sakit? Kok nggak menyahuti panggilan Bunda…,” kata bunda lembut. Nida menarik napas lega.“Tadi Fifin nelepon. Kamu kelamaan turun, jadi teleponnya Bunda tutup. Nanti kata Fifin mau nelepon lagi. Dia cuma nanya, kok kamu belum dateng ke rumahnya katanya kamu udah janji mau mengerjakan tugas bersama?” tanya Bunda.“Ha? Iya, aku lupa!” pekik Nida dalam hati. Dia terlalu asyik bermain dengan si Koneng sampai lupa dengan janjinya pada teman-temannya. Nida menatap jam dinding. Wah, sudah pukul setengah empat sore! Sudah terlambat sekali karena rencananya mereka akan mulai mengerjakan tugas pada pukul dua siang. Segera Nida mengangkat telepon untuk menghubungi Fifin, semoga dia masih diterima walau datang terlambat….Keseriusan Nida menyelesaikan tugas sejak sepulang sekolah terganggu oleh sebuah suara lembut.“Miaaaw…. Miaaaw….” Ah, si Koneng sudah datang. Seperti biasa, tepat pukul dua siang. Tapi kali ini Nida tak ingin bermain. Banyak tugas yang harus diselesaikannya. Apalagi kemarin ia terlambat ikut menyelesaikan tugas kelompok ini bersama teman-temannya. Maka, beban tugasnya pun menjadi semakin banyak. Belum lagi dia harus menghapal banyak istilah-istilah Biologi untuk ujian besok. Hhh! Seperti biasa, sistem kebut semalam, deh! Tapi, manalah si Koneng dapat mengerti?Si Koneng langsung menubruk kaki Nida dan mengusap-usapkan kepalanya, seperti biasa. Namun, kali ini si Koneng terdengar semakin cerewet, semakin sering mengeong.“Miaaaw… miaaaw… miaaaw…,” celoteh kucing itu. Ih, Nida benar-benar merasa terganggu!“ Pus… please… jangan ganggu aku, dong… aku lagi belajar nih…,” keluh Nida. Si Koneng malah mengira Nida mau mengajaknya bermain. Dia melompat-lompat kegirangan sambil menatap Nida penuh harap. Dan suara mengeongnya…. Hiiih!!“Miaaaw… miaaaw… miaaaw…!”

“Aduh, Pus! Udah deh, Pus.... Keluar aja, ya?” ujar Nida sambil membopong kucing itu dan membawanya keluar. Segera setelah diturunkannya kucing itu di lantai balkon, lekas-lekas Nida berniat menutup pintu. Tapi, hup! Si Koneng lebih gesit. Dia sudah melesat ke dalam ruang belajar, menatap Nida tajam seperti menantangnya!“Miaaaw!” Nida mendengus, “Hhh! Sepertinya mesti dikibulin lagi nih, si Koneng!” ujar Nida. Seperti kemarin, Nida melempar keluar bola ping-pong berwarna oranye. Secepat kilat si Koneng mengejarnya. Pada saat itulah segera Nida menutup pintu! Dan hatinya pun merasa lega! Namun, suara mengeong si Koneng masih terdengar, memilukan penuh harap. Ah, Nida tak ingin peduli. Kali ini tugasnya lebih penting. Tak ada waktu buat si Koneng! Benarlah tindakannya kali ini, menyingkirkan si Koneng!Siang menjelang sore itu, tiba-tiba tampak mendung menggantung di langit. Kumpulan air hujan yang membentuk awan kelabu, berarak-arak di angkasa dan tampaknya sebentar lagi siap untuk ditumpahkan. Tak lama, benarlah! Hujan deras tumpah dari langit. Nida tak peduli. Ia masih sibuk menyelesaikan tugasnya. Baru setengah jam kemudian Nida tersadar. Hujan begitu deras. Dan si Koneng? Si Koneng telah dia tinggalkan dil uar!Nida menuju pintu dan membukanya perlahan…. Oh, air hujan telah membasahi seluruh lantai balkon sampai ke setiap sudut-sudutnya. Pandangan mata Nida menyapu lantai balkon yang basah digenangi air. Si Koneng tak ada! “Jangan-jangan si Koneng kehujanan di tengah jalan…. Di manakah rumahnya? Jauhkah dari sini? Ah, Koneng… maafkan aku.…”Pukul dua siang. Nida menghempaskan tubuh lelahnya ke atas karpet yang tergelar di lantai ruang belajarnya. Meletakkan kepalanya di bantal-bantal besar nan empuk…. Ah, lega rasanya. Tak sia-sia Nida begadang semalaman menyelesaikan tugas-tugasnya dan menghapal istilah-istilah Biologi yang sulit dan banyak sekali. Nida merasa puas karena Nida tahu sebagian besar jawaban soal-soal ujian tadi. Perkiraan kasarnya, sembilan puluh persen soal berhasil dijawabnya dengan benar! Setidak-tidaknya, Nida yakin akan meraih nilai delapan puluh lima. Selain itu, teman-temannya puas sekali dengan sisa tugas yang telah diselesaikan Nida. Wow, perfect! Hari ini benar-benar sempurna. Nida baru ingat, biasanya jam-jam segini… si Koneng datang….Jam dinding di ruang belajar itu menunjukkan pukul setengah empat sore. Aneh, si Koneng tidak datang. Nida menjadi gelisah.

“Kenapa ya si Koneng? Kenapa hari ini tidak muncul?” Nida menjadi cemas. Jangan-jangan kucing itu celaka karena kehujanan dalam perjalanan pulang kemarin. Nida bertanya kepada Bunda apakah pernah melihat kucing cantik berbulu lebat berwarna kuning keemasan. Tapi, Bunda menjawab tak pernah melihat kucing seperti itu. Begitu juga ketika Nida bertanya kepada Mbok Nar.“Mbok nggak pernah liat, Neng!” jawab Mbok Nar.“Tapi, Mbok Nar pasti pernah denger suaranya, kan? Suaranya nyaring banget dan cerewet banget gak bisa berhenti mengeong.” Nida masih bertanya. Dan lagi-lagi Mbok Nar menggeleng.“Bener deh, Neng. Mbok nggak pernah denger suara kucing. Ibu kan nggak suka ada kucing di dalam rumah. Jadi kalo Mbok denger suara kucing di rumah, pasti langsung Mbok cari dan kucingnya Mbok usir,” jawab Mbok Nar. Nida mengernyit, tak habis pikir.“Masa, iya sih hanya aku yang melihat dan mendengar si Koneng? Suaranya aja berisik begitu. Rumah ini tak terlalu besar. Suara si Koneng yang melengking itu seharusnya dapat didengar oleh orang yang berada di lantai bawah. Dan anehnya, si Koneng seperti punya jadwal pasti, jam dua datang dan pulang tepat jam empat. Kucing aneh. Milik siapakah ia? Dan mengapa hari ini tidak datang? Mmm, positive thinking aja, deh. Semoga hari ini si Koneng memang sedang senang di rumahnya. Lagi diajak main-main sama yang punya…,” harap Nida.Tiga hari sudah si Koneng tidak tampak batang hidungnya. Nida masih merasa bersalah. “Jangan-jangan si Koneng kapok bermain denganku lagi gara-gara aku tega membiarkannya kedinginan dalam cuaca hujan di luar rumah,” pikir Nida.Tiba-tiba, datang Mbok Nar yang baru pulang dari warung dengan tergopoh-gopoh. Membuat Nida dan Bunda yang sedang asyik menonton televisi terkejut.“Bu, Bu!” seru Mbok Nar dengan pandangan nanar.“Ada apa, Mbok? Kok kelihatan panik begitu?” tanya Bunda.“Ibu inget Oma Nancy? Yang tinggal di belakang rumah?” Mbok Nar malah balik bertanya. Bunda mengangguk.“Iya, ingat. Nenek tua yang hanya tinggal dengan seorang pembantu itu, kan? Yang rumahnya besar?” jawaban Bunda malah berbentuk pertanyaan. Kali ini gantian Mbok Nar yang mengangguk.“Sekarang lagi rame di rumahnya, Bu. Ada polisi segala. Katanya, Oma Nancy mati dibunuh perampok!” jawab Mbok Nar benar-benar mengejutkan Bunda dan Nida. “Apa??!! Ah, yang bener?” tanya Bunda tak percaya. Mbok Nar mengangguk keras.“Bener, Bu!” jawabnya tegas. Bunda dan Nida saling tatap, masih tak percaya….

Oma Nancy…. Kasihan sekali nenek tua itu. Hidup sendiri hanya ditemani oleh seorang pembantu. Anak-anaknya telah hidup sukses, kaya-raya dan sangat sibuk sehingga tak sempat sering-sering mengunjungi Oma Nancy. Walaupun mereka tinggal di kota yang sama, tiga orang anak Oma Nancy yang semuanya telah berkeluarga, belum tentu mengunjunginya tiga bulan sekali. Dan kini, Oma Nancy mati dibunuh perampok? Betapa mengerikan! Apakah tak ada yang tahu kejadiannya? Mendengar teriakannya? Rumahnya terletak di blok yang membelakangi rumah Nida. Nida merinding. Tak adakah yang melihat perampok-perampok itu?Malamnya, ayah melengkapi kisah Oma Nancy. Karena sepulang dari kantor, ayah mengikuti perkembangan kisahnya secara langsung dan mendapat penjelasan dari Pak RT.“Diduga keras yang membunuh Oma Nancy adalah pembantunya yang baru sebulan bekerja di rumahnya itu,” kata ayah. “Ih, kejam banget!” pikir Nida sambil meringis.“Karena tak ada tanda-tanda pintu dirusak paksa. Pintu terkunci dari luar. Sang pembantu menghilang berikut pakaiannya dan barang berharga Oma Nancy. Kata anaknya, Oma Nancy menyimpan sebuah kotak perhiasan berisi emas permata bernilai puluhan juta rupiah. Kotak itulah yang hilang. Kematian Oma Nancy karena dicekik dengan seutas kawat. Si pembantu tahu, keluarga Oma Nancy jarang menghubunginya sehingga si pembantu yakin dia pasti sempat pergi jauh sebelum perbuatannya itu diketahui orang lain. Seandainya anak-anak Oma Nancy lebih memperhatikannya, menelepon setiap hari untuk mengecek keadaan Oma Nancy, pasti kejadian itu dapat lebih cepat diketahui” lanjut ayah lagi.“Lho, memangnya kejadiannya kapan, Yah?” tanya Bunda.“Oma Nancy telah meninggal sejak seminggu yang lalu…. Tak sengaja kejadian itu diketahui setelah pembantu sebelah rumahnya curiga mengapa pembantu Oma Nancy lama tak terlihat membeli sayur di tukang sayur keliling langganan mereka. Malah, tak pernah terlihat keluar untuk menyapu halaman rumahnya,” jawab ayah.Oooh, Bunda dan Nida sama-sama terkejut dan terenyuh mendengar nasib Oma Nancy. “Anehnya, di atas mayat Oma Nancy tergeletak bangkai seekor kucing berbulu kuning. Sepertinya kucing itu adalah kucing anggora kesayangan Oma Nancy yang setia menunggui mayat majikannya sampai kucing itu sendiri ikut mati kelaparan….” Ayah meneruskan ceritanya.Nida langsung pucat pasi mendengarnya! Kucing? Anggora… berbulu kuning?“Si Koneng?” tanyanya dalam hati. Rasanya Nida mau pingsan!

Cerita Dendam. oleh : S Gegge Mapangewa

Cacher:Ada yang menderu di balik dada Rere saat pemandangan aneh yang juga tertangkap mata Fifi, berbalik ke arahnya. “Ridha?” desisnya.

Rere setengah berlari meniti koridor sekolah yang masih sepi. Memang masih pagi, tapi juga memang sudah resiko kerja di majalah sekolah, harus datang lebih awal di hari Senin, jauh sebelum bel upacara bendera berdentang. Apalagi Rere yang redaktur fiksi, jelas tak mau terlambat tiba di Ruang Redaksi. Belum lagi, dia yang paling cerewet jika ada kru Redaksi yang terlambat, lebih cerewet dari Hans sang pemred. Resiko lain, setiap Sabtu, pulang sekolah harus rela kembali ke Ruang Redaksi untuk check in sore.Lingkar, majalah sekolahnya memang oke. Bahkan, sampai laku di pasaran luar sekolah. Apalagi kalau bukan hasil kerja keras dan disiplin yang selama ini mereka berlakukan. Meliput, wawancara, bahkan menulis untuk Lingkar jika ada rubrik kosong, tak ada kiriman naskah dari pembaca, adalah kewajiban bersama. Entah itu redaktur apalagi kalau memang reporter. Pemred saja sering turun meliput jika kegiatan sekolah seabrek untuk dimajalahkan.“Selamat!” ungkap hati Rere saat tiba di Ruang Redaksi sebelum check in pagi dimulai. Meski dia yang paling terakhir tiba, bukan kesalahan menurutnya, karena jam check in pagi belum saatnya.Dia mengibas-ngibaskan buku tipis ke arah dadanya, sedikit sejuk dibanding hanya menerima hembusan air conditioner. Saat pemred membuka sidang, buku tipis itu kembali berubah fungsi sebagai lembaran yang harus dipresentasikannya.“Minggu ini aku rencana mewawancarai Jane, pemenang lomba puisi tahun ini. Terus dengan Gelo, yang berhasil masuk kelas akselerasi. Puisi pun sudah siap jauh sebelum deadline. Cuma cerpen yang belum aku seleksi, tapi janji, akan selesai sebelum deadline,” tuturnya, saat gilirannya di-check pemred.Check in lancar. Tak ada perdebatan berarti, juga tak ada yang melangkahi garis deadline.

Tapi, saat bersiap keluar lapangan upacara, Ruang Redaksi yang berhadapan dengan Ruang Guru memberi pemandangan “aneh” ke objek penglihatan Rere.“Cowok cakep, tuh!” goda Fina.Ada yang menderu di balik dada Rere saat pemandangan aneh yang juga tertangkap mata Fifi, berbalik ke arahnya. “Ridha?” desisnya. “Jadi kamu pindah sekolahnya ke sini. Bertemu lagi, dong! Aku juga tinggalkan sekolah di Medan, dan masuk di sini. Nih, baru mau lapor ke Kepsek.”Rere cuma nyengir, Ridha memang tak tahu jika Rere begitu membencinya. “Dendamku akan terbalas di sini, Ridha!” ungkap batinnya di balik senyum manis yang disunggingkan untuk Ridha.Rere panik. Sudah hari Kamis, tumben cerpen yang masuk ke meja Redaksi, semua kacangan. Sabtu lusa deadline, tepat saat checkin sore. Tapi, cerpen yang sudah tiga hari diseleksi, belum juga dapat. Nggak ada yang layak muat! Atau, dia yang nggak mood baca cerpen, hingga cerpen yang dibacanya, semua berkesan asal jadi. Dia mencoba menepis kebenciannya pada Ridha, yang mungkin membuatnya nggak mood. Tapi lagi-lagi, semua cerpen yang dibacanya hanya akan mempermalukan majalah jika dipaksakan.Tulis cerpen sendiri! Dia memang sering melakukannya jika dalam kondisi terdesak seperti sekarang. Tapi hasil wawancaranya dengan Jane belum dia tulis, juga deadline lusa. “Apa yang kamu lakukan seminggu ini, Rere tolol?” Dia merutuki dirinya sendiri. Untuk pertama kalinya, dia se-blank ini. Tapi se-blank apa pun, dia harus menulis cerpen untuk mengisi kekosongan itu.“Boleh aku nyumbang cerpen?” Ridha berdiri di belakangnya.Dia berbalik, kembali memaksa diri tersenyum biar Ridha tak membaca benci yang bersarang di hatinya. Matanya menatap lembaran cerpen di tangan Ridha yang terulur untuknya. Kalau saja tak ada dendam untuk Ridha, tugas seleksi cerpennya akan selesai detik ini juga. Dia tahu betul, Ridha lebih jago dalam urusan cerpen dan puisi dibanding Rangga AADC, apalagi jika dibandingkan dengan dirinya.

“Di sini nggak ada istilah nyumbang. Ada honor untuk setiap cerpen yang termuat. Tapi punya aturan, mulai dari jumlah kata hingga spasi cerpen, bahkan amplop pengiriman.”Cukup pedas kalimat Rere untuk seorang Ridha yang tak boleh diceramahi soal cerpen. “Jadi, cerpenku nggak….”“Bukan nggak layak muat. Nggak layak baca, kecuali jika kamu mau memasukkannya dulu dalam amplop. Ingat, ini bukan kekurangbijaksanaan, tapi aturan!”Ridha melarikan cerpennya ke koperasi sekolah untuk dibelikan amplop. Tak cukup semenit, dia datang lagi dengan napas ngos-ngosan yang hampir terputus.“Jam istirahat nanti kamu tahu hasilnya. Kebetulan hari ini aku memang lagi seleksi cerpen.” Suara Rere lantang. Sedikit pun Ridha tidak merasa dipermainkan. Baginya, itu adalah aturan sekolah barunya. Dia harus patuh! Juga tak curiga saat jam istirahat tiba dan Rere memberinya jawaban yang kurang menyenangkan.“Cerpenmu nggak punya ledakan. Dari awal hingga akhir datar-datar saja! Dan juga, tema seperti itu sudah klise di sekolah ini.”“Ja… jadi?” Sungguh! Ridha tak pernah menyangka cerpennya akan bernasib seperti itu.“Maaf saja! Jangan pikir aku….” Hampir saja Rere keceplosan dengan kata “balas dendam”. “Maksudku, jangan pikir aku nggak bisa bantu. Ini aku sudah berbaik hati, mengembalikan langsung cerpenmu. Teman yang lain harus ambil sendiri di Redaksi.”Ridha menghembuskan napasnya keras saat Rere berbalik darinya. Ridha tak pernah menyangka, Rere sudah seselektif itu, sehebat itu, hingga dia yang dulu dikenal sebagai “Rangga” harus mengemis untuk mengisi lembaran majalah Lingkar.Ya, mengemis! Puluhan cerpennya, harus “dilayat muak” oleh Rere. Dipulangkan langsung ke Ridha, berikut kalimat-kalimat penolakan yang sedikit pedas. Bukankah setiap cerpen punya nilai plus dan minusnya, tapi yang didapat dari Rere cuma minus. Diksi yang basi, paragraf tak utuh, bahkan tak tanggung-tanggung menilai teknik berceritanya bertele-tele.

Merasakan pedas, Ridha merasa ada yang lain pada Rere untuknya, dia tak tahu. Tapi, dia berusaha untuk tahu, dengan caranya sendiri! “Ini baru cerpen,” Rere menyodorkan majalah Lingkar pada Ridha, menukarnya dengan cerpen Ridha yang dia coba masukkan lagi.Ridha tersenyum tipis.“Padahal penulisnya anak kelas satu. Kalah dengan senior-senior yang sering termuat cerpennya,” tambah Rere. Demi menambah kekecewaan Ridha.Senyum tipis Ridha hilang. Dia tahu cerpennya kali ini akan bernasib serupa dengan puluhan cerpen kemarin. Padahal, Ridha berani mengadu cerpennya dengan cerpen-cerpen yang termuat selama ini. Rere membencinya, dia yakin itu. Tapi, dia tak tahu alasannya.Bulan berikutnya, Rere datang lagi menyodorkan majalah Lingkar padanya. Lagi-lagi buat manas-manasi Ridha. Karena cerpen yang termuat di edisi terbaru itu adalah cerpen dari penulis yang sama di edisi kemarin. Sudah tiga edisi berturut-turut!“Pembaca ataupun Redaksi nggak bakalan keberatan meski tiap edisi Lingkar, cerpen Denny yang termuat. Cerpen yang sempurna, sedikit pun tak ada alasan untuk menolaknya.”“Lalu, kenapa cerpen Ridha Afwan Syah selalu kau tolak?” Ridha mulai menampakkan kejengkelannya.Rere terbengong mendengar nada miring dari kalimat Ridha. Mulutnya baru saja terbuka untuk beralasan, Ridha telah mendahuluinya.“Karena kurang ledakan, temanya klise, atau apa lagi, ya?” Ridha melesakkan mata ke atas, mengingat-ingat alasan penolakan Rere pada puluhan cerpennya.“Jadi kamu nggak setuju, kamu keberatan aku menolak cerpenmu? Di sekolah kemarin kamu boleh dapat gelar Rangga, di sini nggak!”Kebencian yang selama ini tersembunyi di balik senyum Rere, muncul di permukaan. Tapi, alasan kebencian itu tentu saja tak boleh diketahui Ridha. Dia ingin berbalik, meninggalkan Ridha yang masih menatapnya tajam, tapi kalimat Ridha selanjutnya, membuatnya harus bertahan di posisi berdirinya.

“Sadar nggak, cerpen yang kamu pilih tiga kali berturut-turut adalah punyaku.”Rere terperangah.“Kenapa, nggak percaya? Aku yang memaksa Denny untuk mengirim cerpen itu atas nama dia. Atau aku telah melanggar kode etik, lalu kode apa yang kamu langgar? Kamu bahkan nggak membaca cerpenku lalu mengembalikannya. Buktinya, cerpen yang kamu muat itu pernah kukirim untukmu, tapi kamu tolak, atau nama Denny begitu eye catching?”Rere bisu. Akhirnya, dia ketahuan menyimpan dendam untuk Ridha. Tak ada sedikit pun keberanian untuk menatap mata Ridha yang masih menusuknya dengan tatapan. Dia tetap tunduk. Rumput sekolah yang ditatapnya, seolah menjadi latar kisah lalunya saat Ridha di sekolah yang dulu, menjadikannya bulan-bulanan dalam bimbingan jurnalistik yang diselenggarakan sekolahnya.Saat itu, Ridha yang memang pemred mading dipercaya sebagai trainer materi cerpen. Mading sekolah tak pernah memantaskan cerpennya untuk dimuat. Ditolak dan ditolak lagi! Puncak kekesalan Rere ketika dalam bimbingan jurnalistik itu, Ridha mengangkat cerpennya untuk dibahas.Nggak tanggung-tanggung, Ridha mau mempermalukannya. Memasang pamflet di sekolah, memuatnya di mading, jika bimbingan jurnalistik berikut akan mem-“Bakar Sate” alias Bahas Karya Sastra Rame-Rame, dan karya sastra yang akan dibahas adalah cerpen Rere.Awalnya, Rere tersanjung. Mempersiapkan kalimat apa yang akan diucapkannya jika ditanya di mana dia dapat ide seunik itu, diksi secantik itu. Tapi, kenyataannya, sedikit pun Ridha tak mengangkat keunggulan cerpennya. Tema, diksi, semua hancur di mata Ridha.Sangat menyakitkan bagi Rere, tak bisa terlupakan. Penghinaan itu tak hanya menjadi cambuk untuk menulis dan menulis terus, tapi juga menumpuk dendam untuk Ridha. Namanya sudah melejit lewat cerpen-cerpennya, dia pun dipercaya sebagai redaktur fiksi di majalah bulanan sekolahnya. Satu yang belum tercapai, dendamnya untuk Ridha.

“Re, apa salahku? Apa yang membuatmu benci padaku?” Ridha berusaha lembut. Terenyuh dia melihat Rere tertunduk terus.“Apa salahmu? Kamu nggak ingat saat kamu menolak cerpenku, bahkan menjadikanku bulan-bulanan dengan mengangkat cerpenku lalu kamu jatuhkan di depan teman-teman?” Emosi Rere membuncah. Kali ini dia tak takut lagi membalas tatapan Ridha. Dia seolah mendapat energi dari emosi yang tiba-tiba meluap.“Kalo aku nggak sekeras itu, kamu nggak akan punya nama sebeken sekarang. Aku sengaja menjadikanmu pecundang, untuk menyemangatimu. Karena kutahu, kamu punya bakat yang luar biasa, tapi kutahu juga, kamu tipe orang yang harus dipanas-panasi baru bisa berhasil. Dan itu terbukti, kan?”Emosi Rere yang tadi membuncah, surut kini. Dia keliru memberi tuba pada Ridha yang tak pernah membencinya. Dia kembali bisu, menatap rumput sekolah dalam tunduk.“Rupanya, aku masih harus banyak belajar padamu. Tentang cerpen, juga tentang hidup! Ya, aku salut dengan kamu. Tak hanya bisa menulis tapi juga mampu membaca apa yang ada pada seseorang. Aku sendiri tak pernah tahu jika untuk berhasil, aku harus dipanas-panasi dulu.”Air mata Rere jatuh di ujung rumput. Seperti embun kesiangan. Kakinya sudah pegal berdiri, tapi untuk melangkah tentunya harus mengulur tangan dulu untuk minta maaf. Tapi sungguh, tangannya begitu berat terulur, seberat bibirnya mengucap kata maaf.“Aku benci kamu. Kamu rapuh! Tidak bisa menempatkan mana urusan pribadi mana urusan profesi. Apa wajar cerpenku kamu tolak hanya karena dendam pribadi seperti itu?” Ridha mencerca kemudian.Rere terperanjat. Tangannya langsung meraih tangan Ridha untuk minta maaf.“Maafkan aku, Ridha!”Ridha menatapnya tajam. Penuh emosi! Tapi terbahak kemudian.“Nah, kan! Lagi-lagi kamu harus dipanas-panasi dulu. Aku tahu dari tadi kamu mau minta maaf, tapi susah mengucapkannya,” ucap Ridha lalu melanjutkan tawa.Rere mencubit pinggang Ridha. Gemes!

Miss Perfecto. Oleh : Depo

Catcher:Hei… itu dia! Kulihat Miss Perfecto turun dari sebuah angkot. Mmh… aku semakin yakin, ada yang telah terjadi pada gadis itu.

“Ciiit….” Aku menginjak pedal rem mobilku. Bukankah itu… Alya?! Aku melihat gadis itu keluar dari gerbang sebuah lembaga pemasyarakatan. Mau apa dia di tempat itu? Hei… gadis itu melompat ke atas bus yang telah penuh sesak! Ke mana BMW yang kerap mengantarnya? Belum pernah kulihat gadis itu naik kendaraan umum sebelumnya.Aku mengikuti bus yang ditumpanginya.Kalau ada makhluk yang paling kubenci di dunia ini, pasti Alya orangnya. Dari sekian banyak yang kubenci, Miss Perfecto itu menempati peringkat teratas! Entah mengapa aku begitu membencinya… mungkin karena dia cantik, pintar, kaya, banyak prestasi, dan disukai oleh semua penghuni sekolahku, kecuali aku tentunya.The most pretty girl in the school, hanyalah satu dari sekian banyak sanjung puji yang dialamatkan kepadanya. Huh! Gadis itu pasti pakai susuk; di alisnya yang tebal teratur, di ujung mata luarnya yang terangakat ke atas sehingga menyerupai keelokan mata seekor kucing, di hidungnya yang lancip, di bibir mungilnya yang merekah semangka, di rambut hitamnya yang berkilau tergerai hingga ke punggung, di… ah! Semua itu pasti akibat susuk yang digunakannya!Sebenarnya kami sempat dekat sesaat. Bahkan bersahabat. Kami berada di kelas yang sama di awal semester satu. Dia teman sebangkuku kala itu. Lalu sebuah persaingan pun dimulai. Tapi, kami menikmatinya.

Persaingan membuat kami termotivasi untuk selalu tampil menjadi yang terbaik. Dan dia hampir selalu tampil menjadi yang terdepan dalam segala hal, dari juara satu pidato dengan bahasa Inggris, sampai terpilih menjadi anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka mewakili daerah Jakarta. Dalam pelajaran pun, dia masih mengungguliku. Tapi, aku tidak cemburu dengan semua yang telah diraihnya. Sampai… kami jatuh cinta pada pemuda yang sama!Marlend, nama pemuda itu. Dia anak baru di sekolahku. Pandai main basket. Wajahnya sering muncul di sampul-sampul majalah remaja. Pemuda bertampang indo itu memiliki semua yang diinginkan oleh gadis-gadis remaja! Bukan hanya aku dan Alya yang jatuh hati kepadanya. Hampir semua kaum Hawa di sekolahku mengidam-idamkan untuk menjadi pendampingnya. Dan lagi-lagi… Alya mengungguliku. Marlend memilih gadis itu untuk menjadi kekasihnya! Padahal, Alya tahu, aku tergila-gila dengan pemuda itu.Aku bosan menjadi gadis nomor dua di sekolah. Aku muak dengan kesempurnaannya. Ingin rasanya aku menyayat-nyayat wajah mulusnya, mencungkil indah matanya, atau menghantam kepalanya sampai dia amnesia dan menjadi bodoh karenanya. Tapi kalau kulakukan semua itu, wajahku akan terpampang di headline surat kabar, di berita-berita kriminal televisi. Aku tak menginginkan semua itu.Di awal kelas dua, Miss Perfecto bergabung dengan anak-anak rohis. Sejak saat itu, hubungannya dengan Marlend mulai merenggang. Gadis itu jadi sulit diajak jalan berdua olehnya.

Aku menggunakan peluang itu untuk mendekati Marlend. Aku jadi sering jalan dengan pemuda indo itu tanpa sepengetahuan Alya. Sampai, entah dari mana, Alya mencium kedekatanku dengan Marlend. Mereka putus! Pada akhirnya, aku memang berhasil mendapatkan Marlend. Namun, akhirnya aku menyadari kalau pemuda itu hanya menjadikan aku pelarian. Kuputuskan dia karena setiap kami sedang berduaan, hanya Alya yang selalu dibicarakannya. Gadis itu benar-benar telah menjadi hantu bagiku!Bus itu berhenti di depan sebuah gang sempit. Kulihat Alya berjalan masuk ke sebuah perkampungan di pinggiran kota. Mau apa dia ke tempat itu… kampung becek, rumah-rumah petakan yang berdiri berhimpitan, tak pernah kubayangkan anak seorang pengusaha kaya pergi ke tempat seperti itu. Hmm….Pagi sekali aku sudah tiba di sekolah. Tak seorang pun siswa yang sudah tiba di sana, termasuk Alya. Maklum saja baru pukul enam. Kuparkirkan mobilku agak tersembunyi. Dari tempatku, aku bisa melihat dengan jelas pintu gerbang sekolah. Aku sengaja datang pagi buta begini. Aku ingin tahu apa Alya masih diantar ke sekolah dengan BMW-nya?Hei… itu dia! Kulihat Miss Perfecto turun dari sebuah angkot. Mmh… aku semakin yakin, ada yang telah terjadi pada gadis itu. Beberapa bulan ini aku juga sering melihat dia keluar masuk ruangan TU. Teman sekelasnya bilang, dia menunggak iuran SPP dua bulan. Aku jelas tak percaya. Dia anak pengusaha kaya. Mungkin teman sekelasnya itu juga tidak suka kepadanya, seperti aku. Tapi sekarang….

Sepulang sekolah, kuarahkan kendaraanku ke Pesona Khayangan, tempat kediaman keluarga Alya. Mungkin orang-orang di sekitar rumahnya bisa memberiku sedikit informasi.Rumah besar itu tampak lengang. Aku menekan bel berkali-kali, tak seorang pun yang keluar membukakan pintu pagar. Seorang satpam kompleks yang kebetulan lewat, menghentikan motornya di depanku. “Udah nggak ada orangnya, Non!” kata satpam itu dari atas sadel motornya. “Kosong?”“Rumah itu disita oleh pengadilan!”“Disita? Kenapa?”“Wah… Non ini pasti nggak pernah nonton tipi, deh….”“Memangnya kenapa, Pak?”“Pak Tomi, pemilik rumah ini terlibat penggelapan uang negara triliunan rupiah! Sekarang dia meringkuk di penjara Cipinang.”“Ah, yang benar, Pak?!”“Suer!”“Sekarang mereka tinggal di mana, Pak?”“Wah… kalo itu mah, saya juga kagak tau, Non.”Belakangan ini, aku memang melihat perubahan pada diri Alya. Wajahnya sering terlihat murung. Dia jadi senang menyendiri,hanya sesekali kulihat dia di musala bersama teman-teman rohisnya. Saat jam istirahat pun dihabiskannya di dalam kelas saja. Alya seolah menarik diri dari pergaulan sekolah. Aku memang tak sampai menduga apa-apa sampai kulihat dia datang ke sekolah menggunakan angkutan kota. Belakangan ini, aku memang tak pernah melihat BMW-nya mengantar-jemputnya ke sekolah. Dia selalu lebih dulu datang ke sekolah daripada aku, dan aku selalu lebih dulu darinya meninggalkan sekolah. Pasti ada apa-apanya. Aku harus mencari tahu!

Keesokan harinya, sepulang sekolah, kulihat gadis itu turun di Terminal Depok, naik ke atas sebuah patas jurusan Grogol. Lho… mau ke mana dia?! Aku segera menguntit patas itu.Alya turun di depan rumah sakit jiwa! Mau apa dia ke tempat itu? Kuparkirkan mobilku agak menjauh dari tempat itu. Kuikuti gadis mungil itu masuk ke dalam rumah sakit jiwa. Baru kali ini aku melihat orang-orang gila dalam jumlah yang tak terbayangkan. Ada-ada saja tingkah polah mereka. Tak jauh beda dengan yang biasa kita lihat berkeliaran di jalan-jalan. Hanya saja mereka tampak lebih bersih. Aku menjaga jarak beberapa puluh langkah dari gadis itu.Tiba-tiba saja, ada seorang laki-laki gila menghadang langkahku. Matanya membelalak marah. Kulihat api di sana. Tapi kenapa?“Plak!” lelaki gila yang usianya sebaya ayahku itu menampar wajahku.“Wanita sialan!” semburnya, “Setelah puas kauhabiskan hartaku, kau berpaling ke lain pria. Wanita binal. Tukang selingkuh!”Dua pria berseragam putih segera berlari menghampiri tempat kami berdiri. Mereka segera membekuk lelaki gila itu. Lelaki gila itu meronta-ronta berusaha melepaskan diri.Aku merinding ketakutan. Buru-buru aku meninggalkan tempat itu. Hiiiy. Tapi… ke mana tadi Alya pergi?“Tami?!” Aku menoleh. “A-Alya…”“Sedang apa kamu di sini?”“A-aku…”“Kamu mengikuti aku?” selidik Alya.“Mmm… aku….”“Kenapa, Tam? Kenapa kamu mengikuti aku.”“Aku hanya….”“Alya,” tegur seorang pria berseragam putih, “Menjenguk ibumu?”“I-ya, Dok.” Alya tampak kikuk.

“Bagaimana dengan keadaan ibu saya, Dok? Kapan dia diperbolehkan pulang?”“Ibu Alya? Kenapa dia?” tanyaku dalam hati.“Sejauh ini perkembangan kejiwaan ibu kamu sudah jauh lebih baik. Berdoa saja, ya. Yang penting, kamu harus banyak-banyak berdoa. Dan berikan perhatian penuh kepada beliau. Insya Allah, beberapa bulan ke depan, kondisinya sudah bisa benar-benar pulih.”“Terima kasih, Dok.”“Ya, sudah. Saya mau menjenguk pasien saya yang lain. Saya tinggal dulu, ya?”“Oh, silakan, Dok.”“Al….”Gadis itu tampak menenggelamkan wajahnya dalam-dalam.“Sekarang kamu sudah tahu kenapa aku pergi ke tempat ini, kan? Sekarang kamu bisa mengatakan pada anak-anak yang lain tentang ibuku yang dirawat di rumah sakit jiwa. Ya. Ibu harus dirawat di tempat ini karena tidak kuat menanggung malu atas perbuatan papaku. Kamu tentu sudah dengar juga tentang papaku yang di bui karena menggelapkan uang negara, kan? Sekarang kamu bisa menyebarkan berita itu kepada teman-teman di sekolah! Bukankah itu yang kamu mau?”Sesaat hening. Lalu....“Al… boleh aku menjenguk ibumu?”Alya mengangkat dagunya, menatap ke arahku, tak percaya.“Boleh, Al?”“Buat apa?”“Sudah lama aku nggak berjumpa dengannya. Yah, aku emang nggak bawa oleh-oleh, sih.... Tapi aku janji, aku akan mengantar kamu menjenguk ibumu setiap hari. Kalau kamu nggak kebaratan….”“Ka... kamu?”Aku mengangguk. “Kita masih bersahabat, kan?”Kulihat manik air mata retas dari ujung mata Alya yang indah. Menguntai di kedua belah pipi mulusnya. Gadis itu mengangguk.Kami berpelukan.Ah, ternyata, tak ada yang sempurna di dunia ini….

Masih Aja ...

Udah dah...
Guw kagak ngarti harus gimana...

Situasi kayak sibuah simalakama...
dimakan mati bapak mati, gak dimakan emak yang mati.

Terpaksa guw hubungi deh semua tekhnisi n siap di MOP ma bos senin besok.

Tinggalah rasa kebal yang harus diperbaharui.
Jangan takut, dia cuma manusia biasa.
Jangan deg-degan, dia bukan malaikat pencabut nyawa.
Jangan nyante pula, ini urusan hidup.
Jangan bengong, nti ditanya cengo

Iaudah lah, jalani lagi ja. Semoga masih da semangat besok!
Hari ini jantung rasanya jumpalitan, bukan karena senang gaji naik tapi karena kena "tegor' bos!
Mending kalo dapet batagor tapi sayang hanya "tegoran".
Sempet drop juga sih! n kepingin rasanya keluar cepat dari kantor. Dan mencari kerjaan lain. Tapi, beraaat bener ninggalin tempat kerja di sini.

Dari buku yang guw baca. Beda karier n kerja, yaitu dari pengembangan diri orang yang bekerja itu. Apakah dia bisa berkembang atau tidak?. Dan hanya perusahaan yang memberikan kebebasan yang bisa melihat para karyawannya berkembang. Para karyawan yang "terpilih", pemanfaatan kemajuan tekhnologi, dan kebebasan berdiskusi.

Dan perusahaan guw itu termasuk di atas itu.

Bayangin ja pertama guw kerja udah dikasih meja, komputer, telephone, n ruangan "sendiri". Serasa udah di beri tugas berat gitu. Awalnya guw rada kaget karena guw gak nyangka dari status pendidikan guw yang cuma SMK ko' bisa mendapat fasilitas sebegini BEBAS dan PUASnya. Dan seterusnya membuat guw menjadi terpedaya dan terlena. Guw gak puas dengan semua kemudahan yang guw terima. Hingga guw harus menahan kelelahan dan tekanan dari keluarga karena kebebasan guw mendapat timbal baliknya, gaji yang kecil.

Fyuh!, guw rada kecewa kalo dapat tekanan dari sekeliling. Tapi, dari sini guw terus berjuang. Gue manfaatin yang ada, teman kerja yang asyik, kebebasan tekhnologi yang tak terbatas, komunikasi yang tak terkendali, dan pasti nya tiada tekanan dari atasan.

Tapi yah..tetap saja yang namanya kerja ma orang musti da tanggung jawabnya. Ini yang buat guw rada berat. Kerja ma orang tua ja guw rada malas. Apalagi ini kerja ma orang lain. Waduh perlu usaha yang keras untuk merubah sifat malas guw.

Namanya juga sifat lama-kelamaan terlihat dan dinilai orang. Jadilah harga diri yang jadi tanggungan. Kalo udah ngerasa "ditekan" bawaan keluar "nongol" melulu.

Kayak peristiwa hari ini. Karena malas menegur para engineering yang memakai printer di lantai 4, bos malah negor n minta di panggil untuk senin depan.

Iaudahlah mo pa lagi, panggil ja tuh engineering. Palingan guw di damprat!
Gampanglah tinggal di damprat lagi. :-(