Theme Preview Rss

Rahasia Rani. Oleh : Melani

Catcher:Roni melepas kacamatanya dan mengubah potongan rambutnya, memberikan sedikit poni yang menutupi keningnya. Tiba-tiba ia berbicara dengan suara perempuan, “Aku Rani.”

"Selamat pagi semuanya!” Aku melangkah ringan memasuki ruang kelasku pada suatu pagi yang cerah di pertengahan bulan Agustus.“Ceria banget, Sya?” sapa teman akrabku, Aldo.Aku tersenyum lebar, ”Iya donk.... Pagi-pagi harus bersemangat! Jangan loyo kayak kamu.”Aldo mencibir.”Eh, Sya... udah tau hot news hari ini belum?” tanya Aldo tiba-tiba dengan mimik serius, membuatku jadi penasaran.”Hah? Hot news apaan, Do? Kamu jadian sama siapa? Atau, kamu baru dapat lotere, ya, Do? Wah... makan-makan, donk?”“Hush! Sembarangan aja!” sergah Aldo. “Tuh... lihat di sebelah sana! Ada anak baru,” katanya sambil menunjuk ke arah seorang perempuan berambut pendek dengan poni menutupi dahinya.“Ya udah, kenalan yuk!” kataku sambil menarik tangan Aldo dan melangkah mendekati anak baru tadi.“Halo... kamu anak baru, kan?” sapaku sambil menepuk pundak si anak baru.Anak baru itu menengok. Hmm... cantik juga. Pantas saja Aldo, yang biangnya cuek, langsung heboh.Anak baru itu terdiam. Mendadak mukanya bersemu kemerahan, membuatku geli. “Ha ha... kamu nggak usah takut sama aku. Aku nggak nggigit, kok!” selorohku. “Kamu nggak perlu malu, oke?”Gadis itu mengangguk pelan.“Oh iya, sampai lupa.... Namaku Tasya, tapi aku bukan anak gembala, lho! Ha ha...,” candaku lagi sambil mengulurkan tangan kananku, mengajaknya berkenalan.Ia meraih tanganku dan berbisik lirih, “Rani....”“Apa? Cantik-cantik begini namamu Roni?” candaku lagi.Tiba-tiba ia terlihat gugup. Duh! Pemalu sekali anak ini.

“Udah, Sya... anak barunya jangan digangguin melulu. Kasihan tuh!” kata Aldo sok simpati.“Eh, kenalin... aku Aldo.” Aldo mengulurkan tangannya ke arah Rani sambil tersenyum manis. Rani mengulurkan tangannya kepada Aldo.“Pindahan dari mana, Ran?” tanyaku berbasa-basi.“Semarang,” jawabnya singkat.“Sekarang tinggal di mana?” tanyaku lagi.“Pondok Indah.”“O ya? Nomor telepon kamu berapa?” tanya Aldo sambil dengan sigapnya mengeluarkan handphone dari dalam kantong celananya, bersiap-siap mencatat nomor telepon Rani.Aku menjitak kepala Aldo, “Huu... dasar ganjen!”“Adaaawww....” jerit Aldo.Aku dan Rani tertawa geli, sementara Aldo sibuk mengelus-elus benjol di kepalanya dengan mimik lucu.Rasanya mudah saja menjalin persahabatan dengan Rani. Selain cantik, ternyata ia anak yang baik hati. Sifatnya yang gampang tertawa pun membuatnya betah berada di dekat aku dan Aldo, dan begitu pula sebaliknya.Tapi, lama-lama, aku merasa ada yang aneh dengan diri Rani. Selama ini ia selalu siap membantu kami dan mendengarkan curhat-curhatku dan Aldo. Kadang-kadang kami bertiga juga suka nongkrong di rumah Aldo atau rumahku. Tapi, kenapa Rani nggak pernah bercerita tentang kehidupan pribadinya, ya? Jangankan untuk pergi mengunjungi rumahnya, dengan siapa dia tinggal saja aku dan Aldo tidak tahu-menahu.Apakah Rani masih punya ayah dan ibu? Apakah dia punya adik atau kakak? Siapa nama saudara-saudara Rani? Ataukah dia itu anak tunggal?Aku sendiri sudah sering memancing pembicaraan ke arah keluarga. Apalagi Aldo terang-terangan kelihatan suka kepada Rani dan sedang berusaha mengumpulkan informasi tentang dia, tapi Rani selalu mengalihkan pembicaraan.

Walaupun penasaran, Aldo selalu memperingatkanku untuk tidak terlalu ikut campur dengan urusan pribadi Rani. Tapi, apakah kami ini sahabat yang baik kalau kami bahkan tidak tahu apa pun mengenai diri Rani?Sebenarnya, rahasia apa yang Rani sembunyikan dari aku dan Aldo?“Tasya, kamu teman dekat Rani, kan?” tanya Bu Saski, guru Matematika sekaligus wali kelasku.Aku mengangguk pelan, “Iya. Memangnya ada apa, Bu?”“Katanya Rani sakit, ya? Sudah seminggu ini dia tidak masuk, apa kamu tidak menjenguk dia?”Aku terdiam. Sempat kulirik Aldo, yang hanya mengangkat bahunya.“Hmm... saya sih memang mau menjenguk dia, Bu, sama Aldo. Tapi, kami nggak tahu alamat rumah Rani. Yang saya tahu, dia tinggal di Pondok Indah. Tapi... saya belum pernah ke rumahnya, Bu.”Bu Saski mengerutkan kening, “Ya sudah, nanti kamu menghadap Ibu, ya, sepulang sekolah. Nanti Ibu berikan alamat rumah Rani agar kamu dan Aldo bisa menjenguk dia. Sekalian kirim salam untuk Rani dari Ibu dan anak-anak satu kelas.”“I... iya, Bu.”“Busyet! Kamu nggak salah alamat, kan, Sya? Betul kan ini nomor 58? Gilee.... Ini sih bukan rumah, tapi istana,” komentar Aldo sambil membuka helmnya.Aku turun dari boncengan Aldo. “Iya, ini nomor 58.... Tapi, apa bener ini rumah Rani?”Aldo mengangkat bahu. “Coba ketok aja dulu, Sya....”Aku mendatangi gerbang depan rumah bergaya Victorian itu. Memang benar kata Aldo, rumah ini besar sekali!Aku mencoba mengetok-ngetok gembok besar di gerbang ketika tiba-tiba seorang satpam datang tergesa-gesa sambil memarahi aku.“Wooi! Jangan diketok-ketok! Itu kan ada bel!” katanya terengah-engah.Aku melihat ke arah yang ditunjuknya. Bodoh! Masa, nggak kepikiran bahwa rumah sebesar ini tak mungkin tidak punya bel, sih?


“He he... maafin, deh, Pak. Kan saya nggak tau belnya ada di situ.”“Memangnya Anda ini mau cari siapa?” tanya satpam tadi sambil melihat ke arahku dan Aldo dengan pandangan curiga.“Rani.”“Hah? Siapa? Den Roni? Oh, saya tahu... kalian ini teman sekolahnya, kan? Ya sudah, sebentar saya panggilkan dulu. Kalian masuk saja,” kata satpam tadi sambil membukakan pintu gerbang untuk kami.Ternyata, bagian dalam rumah Rani lebih mewah daripada yang tampak luarnya. Seorang pelayan dangan pakaian seragam khusus berwarna biru muda mengantarkan kami masuk dan mempersilakan duduk di sebuah ruang tamu dengan kursi-kursi besar yang dikelilingi hiasan-hiasan kristal di atas meja-meja marmer.“Mau minum apa?” tanya pelayan itu. “Jus buah, cappuccino, atau soft drink?”“Busyet! Harganya berapa tuh, Mbak? Kayak di restoran aja,” kata Aldo panik, takut disuruh membayar.Aku menepuk tangan Aldo.“Air putih saja. Makasih, Mbak....” kataku pada si pelayan yang mengangguk dan langsung pergi menuju dapur.“Do.... Gila juga ya si Rani, rumahnya besar banget!” bisikku pada Aldo, takut ada yang mendengar pembicaraan kami.“He-eh,” jawab Aldo singkat sambil sibuk memperhatikan sebuah gambar besar yang dipajang di dinding seberang kami. Sebuah foto keluarga. Ada seorang ayah, ibu, dan seorang anak laki-laki, juga seorang anak perempuan.“Itu Rani, bukan?” tanya Aldo sambil menunjuk ke arah foto anak perempuan tadi.Aku memicingkan mataku, mencoba untuk melihat lebih jelas. “Nggak tau, deh... Abis di situ rambutnya panjang... Tapi kayaknya sih iya.”“Hei, kalian udah lama nunggu ya?” sebuah suara dari belakang kami membuat kami menengok.“Lho? Kalian ini...”

Di hadapan kami berdiri seorang anak laki-laki yang tadi menyapa kami. Wajahnya sangat mirip dengan wajah Rani, tetapi ia memakai kacamata. Kini ia berdiri mematung melihat kami, kebingungan.“Kalian?”“Kami teman Rani,” kataku.“Kamu kakak Rani yang ada di gambar itu kan? Saya Aldo dan ini Tasya. Kami teman-teman sekelas Rani,” kata Aldo sambil memperkenalkan diri. “Kami mendapat kabar Rani sedang sakit, makanya kami mau menjenguk dia.”“Oh, iya, iya... Rani, hmm, ada di atas. Nanti saya suruh dia turun,” jawab anak laki-laki tadi sambil cepat-cepat berlari ke lantai atas sebelum kami sempat mencegahnya.Lima menit kemudian, Rani mendatangi kami dengan tampang lesu.“Kalian tuh ya... Mau datang kok nggak bilang-bilang?” tanya Rani sambil duduk di sebelahku. “Kalian dapat alamat rumahku dari mana?”“Dari Bu Riska. Kami semua cemas karena kamu sudah seminggu sakit tapi nggak tau gimana kabarnya,” jawab Aldo.“Eh, Ran, ngomong-ngomong yang tadi itu kakakmu ya?” tanyaku penasaran.Rani mengangguk, “Iya... Namanya Roni.”“Sya... Kamu mau nggak jadi pacar aku?”Saat itu, kira-kira sebulan setelah kunjunganku ke rumah Rani bersama Aldo, aku sedang duduk berdua di sebuah cafe di Mal Pondok Indah, bersama Roni, kakak Rani.Aku mengangguk malu-malu. Aku dan Roni memang menjadi sangat dekat berkat hasil comblangan Rani, dan kini aku sudah resmi jadi pacar Roni.“Kalau begitu, aku mau mengakui sesuatu nih sama kamu,” kata Roni sok misterius.“Apa?” tanyaku penasaran.Roni melepas kacamatanya dan mengubah potongan rambutnya, memberikan sedikit poni yang menutupi keningnya. Tiba-tiba ia berbicara dengan suara perempuan, “Aku Rani.”

Aku masih bingung, shock. Kini yang duduk di hadapanku bukanlah Roni, melainkan Rani.“Maksud kamu... Apa?”Roni, atau mungkin Rani, mengenakan kacamatanya lagi dan merapikan rambutnya.“Aku Roni, bukan Rani. Tapi... sebenernya... Aduh, aku Roni tapi juga Rani.”Kepalaku mulai terasa pening. “Maksudnya... Kamu... perempuan jadi-jadian atau laki-laki jadi-jadian, begitu?”Roni, atau mungkin Rani, ya... Siapa pun yang sedang duduk di depanku itu tertawa, “Bukan. Aku Roni. Dan aku laki-laki tulen.”“Lalu?”Roni menghela napas sebelum meneruskan, “Adikku Rani sebenarnya sedang dalam ancaman penjahat yang ingin memeras keluarga kami. Untuk melindunginya, kami bertukar tempat. Kami ini kan kembar. Lagi pula, begini-begini aku jago karate, jadi bisa menjaga diriku sendiri di Jakarta sini.”“Maksudmu... Jadi, selama ini aku curhat, jalan-jalan, ke mana-mana itu sebenernya sama kamu? Bukan sama Rani?”Roni menggeleng, “Bahkan kamu nggak kenal sama Rani. Nantilah kamu aku kenalkan sama dia. Sekarang ini dia sedang sekolah di Australia.”“Ya ampun... Jadi, selama ini... kamu memang sengaja merahasiakan ini semua sama aku dan Aldo?” Roni mengangguk lagi.“Duh! Ya ampun! Kalau begitu Aldo bakal patah hati, donk? Dia kan naksir berat sama Rani buatanmu itu!”Roni tertawa geli, “Aldo udah tau kok duduk perkara yang sebenernya waktu dia nembak aku dua minggu yang lalu! Ha ha ha... Dan sekarang dia malah kirim-kiriman e-mail sama Rani yang beneran. Kata Aldo sih, cantikan Rani yang benerannya daripada Rani jadi-jadiannya! Ha ha ha...”Aku terduduk lemas. Lega, sekaligus geli.Rupanya itulah rahasia besar Rani yang membuatku penasaran selama ini.

0 komentar:

Posting Komentar