Theme Preview Rss

Cerita Dendam. oleh : S Gegge Mapangewa

Cacher:Ada yang menderu di balik dada Rere saat pemandangan aneh yang juga tertangkap mata Fifi, berbalik ke arahnya. “Ridha?” desisnya.

Rere setengah berlari meniti koridor sekolah yang masih sepi. Memang masih pagi, tapi juga memang sudah resiko kerja di majalah sekolah, harus datang lebih awal di hari Senin, jauh sebelum bel upacara bendera berdentang. Apalagi Rere yang redaktur fiksi, jelas tak mau terlambat tiba di Ruang Redaksi. Belum lagi, dia yang paling cerewet jika ada kru Redaksi yang terlambat, lebih cerewet dari Hans sang pemred. Resiko lain, setiap Sabtu, pulang sekolah harus rela kembali ke Ruang Redaksi untuk check in sore.Lingkar, majalah sekolahnya memang oke. Bahkan, sampai laku di pasaran luar sekolah. Apalagi kalau bukan hasil kerja keras dan disiplin yang selama ini mereka berlakukan. Meliput, wawancara, bahkan menulis untuk Lingkar jika ada rubrik kosong, tak ada kiriman naskah dari pembaca, adalah kewajiban bersama. Entah itu redaktur apalagi kalau memang reporter. Pemred saja sering turun meliput jika kegiatan sekolah seabrek untuk dimajalahkan.“Selamat!” ungkap hati Rere saat tiba di Ruang Redaksi sebelum check in pagi dimulai. Meski dia yang paling terakhir tiba, bukan kesalahan menurutnya, karena jam check in pagi belum saatnya.Dia mengibas-ngibaskan buku tipis ke arah dadanya, sedikit sejuk dibanding hanya menerima hembusan air conditioner. Saat pemred membuka sidang, buku tipis itu kembali berubah fungsi sebagai lembaran yang harus dipresentasikannya.“Minggu ini aku rencana mewawancarai Jane, pemenang lomba puisi tahun ini. Terus dengan Gelo, yang berhasil masuk kelas akselerasi. Puisi pun sudah siap jauh sebelum deadline. Cuma cerpen yang belum aku seleksi, tapi janji, akan selesai sebelum deadline,” tuturnya, saat gilirannya di-check pemred.Check in lancar. Tak ada perdebatan berarti, juga tak ada yang melangkahi garis deadline.

Tapi, saat bersiap keluar lapangan upacara, Ruang Redaksi yang berhadapan dengan Ruang Guru memberi pemandangan “aneh” ke objek penglihatan Rere.“Cowok cakep, tuh!” goda Fina.Ada yang menderu di balik dada Rere saat pemandangan aneh yang juga tertangkap mata Fifi, berbalik ke arahnya. “Ridha?” desisnya. “Jadi kamu pindah sekolahnya ke sini. Bertemu lagi, dong! Aku juga tinggalkan sekolah di Medan, dan masuk di sini. Nih, baru mau lapor ke Kepsek.”Rere cuma nyengir, Ridha memang tak tahu jika Rere begitu membencinya. “Dendamku akan terbalas di sini, Ridha!” ungkap batinnya di balik senyum manis yang disunggingkan untuk Ridha.Rere panik. Sudah hari Kamis, tumben cerpen yang masuk ke meja Redaksi, semua kacangan. Sabtu lusa deadline, tepat saat checkin sore. Tapi, cerpen yang sudah tiga hari diseleksi, belum juga dapat. Nggak ada yang layak muat! Atau, dia yang nggak mood baca cerpen, hingga cerpen yang dibacanya, semua berkesan asal jadi. Dia mencoba menepis kebenciannya pada Ridha, yang mungkin membuatnya nggak mood. Tapi lagi-lagi, semua cerpen yang dibacanya hanya akan mempermalukan majalah jika dipaksakan.Tulis cerpen sendiri! Dia memang sering melakukannya jika dalam kondisi terdesak seperti sekarang. Tapi hasil wawancaranya dengan Jane belum dia tulis, juga deadline lusa. “Apa yang kamu lakukan seminggu ini, Rere tolol?” Dia merutuki dirinya sendiri. Untuk pertama kalinya, dia se-blank ini. Tapi se-blank apa pun, dia harus menulis cerpen untuk mengisi kekosongan itu.“Boleh aku nyumbang cerpen?” Ridha berdiri di belakangnya.Dia berbalik, kembali memaksa diri tersenyum biar Ridha tak membaca benci yang bersarang di hatinya. Matanya menatap lembaran cerpen di tangan Ridha yang terulur untuknya. Kalau saja tak ada dendam untuk Ridha, tugas seleksi cerpennya akan selesai detik ini juga. Dia tahu betul, Ridha lebih jago dalam urusan cerpen dan puisi dibanding Rangga AADC, apalagi jika dibandingkan dengan dirinya.

“Di sini nggak ada istilah nyumbang. Ada honor untuk setiap cerpen yang termuat. Tapi punya aturan, mulai dari jumlah kata hingga spasi cerpen, bahkan amplop pengiriman.”Cukup pedas kalimat Rere untuk seorang Ridha yang tak boleh diceramahi soal cerpen. “Jadi, cerpenku nggak….”“Bukan nggak layak muat. Nggak layak baca, kecuali jika kamu mau memasukkannya dulu dalam amplop. Ingat, ini bukan kekurangbijaksanaan, tapi aturan!”Ridha melarikan cerpennya ke koperasi sekolah untuk dibelikan amplop. Tak cukup semenit, dia datang lagi dengan napas ngos-ngosan yang hampir terputus.“Jam istirahat nanti kamu tahu hasilnya. Kebetulan hari ini aku memang lagi seleksi cerpen.” Suara Rere lantang. Sedikit pun Ridha tidak merasa dipermainkan. Baginya, itu adalah aturan sekolah barunya. Dia harus patuh! Juga tak curiga saat jam istirahat tiba dan Rere memberinya jawaban yang kurang menyenangkan.“Cerpenmu nggak punya ledakan. Dari awal hingga akhir datar-datar saja! Dan juga, tema seperti itu sudah klise di sekolah ini.”“Ja… jadi?” Sungguh! Ridha tak pernah menyangka cerpennya akan bernasib seperti itu.“Maaf saja! Jangan pikir aku….” Hampir saja Rere keceplosan dengan kata “balas dendam”. “Maksudku, jangan pikir aku nggak bisa bantu. Ini aku sudah berbaik hati, mengembalikan langsung cerpenmu. Teman yang lain harus ambil sendiri di Redaksi.”Ridha menghembuskan napasnya keras saat Rere berbalik darinya. Ridha tak pernah menyangka, Rere sudah seselektif itu, sehebat itu, hingga dia yang dulu dikenal sebagai “Rangga” harus mengemis untuk mengisi lembaran majalah Lingkar.Ya, mengemis! Puluhan cerpennya, harus “dilayat muak” oleh Rere. Dipulangkan langsung ke Ridha, berikut kalimat-kalimat penolakan yang sedikit pedas. Bukankah setiap cerpen punya nilai plus dan minusnya, tapi yang didapat dari Rere cuma minus. Diksi yang basi, paragraf tak utuh, bahkan tak tanggung-tanggung menilai teknik berceritanya bertele-tele.

Merasakan pedas, Ridha merasa ada yang lain pada Rere untuknya, dia tak tahu. Tapi, dia berusaha untuk tahu, dengan caranya sendiri! “Ini baru cerpen,” Rere menyodorkan majalah Lingkar pada Ridha, menukarnya dengan cerpen Ridha yang dia coba masukkan lagi.Ridha tersenyum tipis.“Padahal penulisnya anak kelas satu. Kalah dengan senior-senior yang sering termuat cerpennya,” tambah Rere. Demi menambah kekecewaan Ridha.Senyum tipis Ridha hilang. Dia tahu cerpennya kali ini akan bernasib serupa dengan puluhan cerpen kemarin. Padahal, Ridha berani mengadu cerpennya dengan cerpen-cerpen yang termuat selama ini. Rere membencinya, dia yakin itu. Tapi, dia tak tahu alasannya.Bulan berikutnya, Rere datang lagi menyodorkan majalah Lingkar padanya. Lagi-lagi buat manas-manasi Ridha. Karena cerpen yang termuat di edisi terbaru itu adalah cerpen dari penulis yang sama di edisi kemarin. Sudah tiga edisi berturut-turut!“Pembaca ataupun Redaksi nggak bakalan keberatan meski tiap edisi Lingkar, cerpen Denny yang termuat. Cerpen yang sempurna, sedikit pun tak ada alasan untuk menolaknya.”“Lalu, kenapa cerpen Ridha Afwan Syah selalu kau tolak?” Ridha mulai menampakkan kejengkelannya.Rere terbengong mendengar nada miring dari kalimat Ridha. Mulutnya baru saja terbuka untuk beralasan, Ridha telah mendahuluinya.“Karena kurang ledakan, temanya klise, atau apa lagi, ya?” Ridha melesakkan mata ke atas, mengingat-ingat alasan penolakan Rere pada puluhan cerpennya.“Jadi kamu nggak setuju, kamu keberatan aku menolak cerpenmu? Di sekolah kemarin kamu boleh dapat gelar Rangga, di sini nggak!”Kebencian yang selama ini tersembunyi di balik senyum Rere, muncul di permukaan. Tapi, alasan kebencian itu tentu saja tak boleh diketahui Ridha. Dia ingin berbalik, meninggalkan Ridha yang masih menatapnya tajam, tapi kalimat Ridha selanjutnya, membuatnya harus bertahan di posisi berdirinya.

“Sadar nggak, cerpen yang kamu pilih tiga kali berturut-turut adalah punyaku.”Rere terperangah.“Kenapa, nggak percaya? Aku yang memaksa Denny untuk mengirim cerpen itu atas nama dia. Atau aku telah melanggar kode etik, lalu kode apa yang kamu langgar? Kamu bahkan nggak membaca cerpenku lalu mengembalikannya. Buktinya, cerpen yang kamu muat itu pernah kukirim untukmu, tapi kamu tolak, atau nama Denny begitu eye catching?”Rere bisu. Akhirnya, dia ketahuan menyimpan dendam untuk Ridha. Tak ada sedikit pun keberanian untuk menatap mata Ridha yang masih menusuknya dengan tatapan. Dia tetap tunduk. Rumput sekolah yang ditatapnya, seolah menjadi latar kisah lalunya saat Ridha di sekolah yang dulu, menjadikannya bulan-bulanan dalam bimbingan jurnalistik yang diselenggarakan sekolahnya.Saat itu, Ridha yang memang pemred mading dipercaya sebagai trainer materi cerpen. Mading sekolah tak pernah memantaskan cerpennya untuk dimuat. Ditolak dan ditolak lagi! Puncak kekesalan Rere ketika dalam bimbingan jurnalistik itu, Ridha mengangkat cerpennya untuk dibahas.Nggak tanggung-tanggung, Ridha mau mempermalukannya. Memasang pamflet di sekolah, memuatnya di mading, jika bimbingan jurnalistik berikut akan mem-“Bakar Sate” alias Bahas Karya Sastra Rame-Rame, dan karya sastra yang akan dibahas adalah cerpen Rere.Awalnya, Rere tersanjung. Mempersiapkan kalimat apa yang akan diucapkannya jika ditanya di mana dia dapat ide seunik itu, diksi secantik itu. Tapi, kenyataannya, sedikit pun Ridha tak mengangkat keunggulan cerpennya. Tema, diksi, semua hancur di mata Ridha.Sangat menyakitkan bagi Rere, tak bisa terlupakan. Penghinaan itu tak hanya menjadi cambuk untuk menulis dan menulis terus, tapi juga menumpuk dendam untuk Ridha. Namanya sudah melejit lewat cerpen-cerpennya, dia pun dipercaya sebagai redaktur fiksi di majalah bulanan sekolahnya. Satu yang belum tercapai, dendamnya untuk Ridha.

“Re, apa salahku? Apa yang membuatmu benci padaku?” Ridha berusaha lembut. Terenyuh dia melihat Rere tertunduk terus.“Apa salahmu? Kamu nggak ingat saat kamu menolak cerpenku, bahkan menjadikanku bulan-bulanan dengan mengangkat cerpenku lalu kamu jatuhkan di depan teman-teman?” Emosi Rere membuncah. Kali ini dia tak takut lagi membalas tatapan Ridha. Dia seolah mendapat energi dari emosi yang tiba-tiba meluap.“Kalo aku nggak sekeras itu, kamu nggak akan punya nama sebeken sekarang. Aku sengaja menjadikanmu pecundang, untuk menyemangatimu. Karena kutahu, kamu punya bakat yang luar biasa, tapi kutahu juga, kamu tipe orang yang harus dipanas-panasi baru bisa berhasil. Dan itu terbukti, kan?”Emosi Rere yang tadi membuncah, surut kini. Dia keliru memberi tuba pada Ridha yang tak pernah membencinya. Dia kembali bisu, menatap rumput sekolah dalam tunduk.“Rupanya, aku masih harus banyak belajar padamu. Tentang cerpen, juga tentang hidup! Ya, aku salut dengan kamu. Tak hanya bisa menulis tapi juga mampu membaca apa yang ada pada seseorang. Aku sendiri tak pernah tahu jika untuk berhasil, aku harus dipanas-panasi dulu.”Air mata Rere jatuh di ujung rumput. Seperti embun kesiangan. Kakinya sudah pegal berdiri, tapi untuk melangkah tentunya harus mengulur tangan dulu untuk minta maaf. Tapi sungguh, tangannya begitu berat terulur, seberat bibirnya mengucap kata maaf.“Aku benci kamu. Kamu rapuh! Tidak bisa menempatkan mana urusan pribadi mana urusan profesi. Apa wajar cerpenku kamu tolak hanya karena dendam pribadi seperti itu?” Ridha mencerca kemudian.Rere terperanjat. Tangannya langsung meraih tangan Ridha untuk minta maaf.“Maafkan aku, Ridha!”Ridha menatapnya tajam. Penuh emosi! Tapi terbahak kemudian.“Nah, kan! Lagi-lagi kamu harus dipanas-panasi dulu. Aku tahu dari tadi kamu mau minta maaf, tapi susah mengucapkannya,” ucap Ridha lalu melanjutkan tawa.Rere mencubit pinggang Ridha. Gemes!

0 komentar:

Posting Komentar